BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Minyak bumi saat ini menjadi bahan yang dicari bagi seluruh masyarakat dunia, dikarenakan banyak kegiatan manusia di bidang pertanian, perdagangan, industri, dan ekonomi membutuhkan minyak bumi sebagai salah satu bahan pendukungnya. Selama ini banyak cara yang digunakan untuk menemukan keberadaan minyak bumi, salah satunya dengan mengamati keberadaan protozoa tertentu. Dalam hal ini, protozoa yang biasa digunakan sebagai indikator keberadaan minyak bumi adalah kelompok Foraminifera.
Foraminifera, atau disingkat foram, adalah grup besar protista amoeboid dengan pseudopodia. Cangkang atau kerangka foraminifera merupakan petunjuk dalam pencarian sumber minyak, gas alam dan mineral (Anonima, 2010). Foraminifera adalah organisme bersel tunggal yang sudah memiliki kemampuan untuk membangun cangkang kalsit dengan arsitektur yang rumit. Amoeba adalah kerabat dekat foraminifera yang belum memiliki cangkang sebagai pelindung protoplasmanya. Cangkang foraminifera terutama yang hidup sebagai organism bentik sangatlah menakjubkan, dengan ukuran berkisar antara 5 μ hingga beberapa sentimeter (Rositasari, 2010),
Sebaran foraminifera sangat luas yaitu mulai dari perairan tawar, payau, laut dangkal hingga laut dalam. Berdasarkan cara hidupnya foraminifera dibagi menjadi 2, yaitu foraminifera planktonik dan bentik. Jenis-jenis bentik hidup di lapisan permukaan sedimen hingga kedalaman beberapa puluh sentimeter, sedangkan jenis planktonik hidup mengapung di dalam kolom air. Sebaran jenis bentik sangat luas yakni hampir di seluruh tipe perairan, namun demikian masing-masing tipe perairan dicirikan oleh assemblage (komunitas) yang berbeda. Foraminifera planktonik tersebar luas di laut-laut terbuka dengan kedalam air lebih dari 10 meter.
Dengan ukuran mikroskopis, cangkang keras, sebaran geografis dan sebaran geologis luas, taksa ini sangat potensial digunakan sebagai petunjuk kondisi suatu lingkungan, baik pada masa kini maupun masa lalu. Hingga saat ini kalangan ahli geologi masih menggunakan foraminifera sebagai petunjuk lingkungan purba.
Foraminifera planktonik biasa digunakan untuk mengetahui umur relative suatu lapisan/batuan. Bolli (1957), Berger & Winterer (1974) dan Berggeren (1972) dalam Rositasari (2010), telah menyusun biokronologi batuan berdasarkan keberadaan foraminifera planktonik penciri. Foraminifera bentik yang hidup di lapisan permukaan sedimen dasar perairan sehingga sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mikro maupun lingkungan makronya, oleh karena itu jenis-jenis ini digunakan oleh para ahli geologi sebagai penciri lingkungan pengendapan. Lingkungan pengendapan oleh para ahli geologi adalah tipe perairan, sebagai contoh perairan payau, laut dangkal, laut dalam, abisal, batial dan lainnya. Penggunaan foraminifera secara luas dalam eksplorasi minyak oleh para ahli geologi dimulai sejak paska perang dunia I, saat revolusi industri dimulai, pada saat itu dunia membutuhkan sumber minyak untuk berbagai aktivitas ekonomi.
Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian yang berjudul "Identifikasi Foraminifera di Air Selokan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang sebagai Bioindikator Keberadaan Minyak Bumi".
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apa saja Foraminifera yang ditemukan di air selokan FMIPA UM?
2. Bagaimana morfologi dari spesies Foraminifera yang ditemukan?
3. Bagaimana kelimpahan spesies Foraminifera yang ditemukan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui spesies Foraminifera yang ditemukan di air selokan FMIPA UM.
2. Mengetahui morfologi spesies Foraminifera yang ditemukan di air selokan FMIPA UM.
3. Mengetahui kelimpahan spesies Foraminifera di air selokan FMIPA UM.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a) Bagi masyarakat
Memberikan informasi tentang keanekaragaman foraminifera di perairan lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang.
b) Bagi mahasiswa
Dapat memahami dan mengetahui jenis-jenis Foraminifera yang ditemukan di perairan di lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam sebagai bioindikator minyak bumi.
c) Bagi peneliti
Mengetahui keanekaragaman Foraminifera dan memprediksikan adanya minyak bumi di lingkungan perairan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
E. Asumsi Penelitian
1. Faktor-faktor biologis Foraminifera saat pelaksanaan penelitian diasumsikan sama.
2. Faktor fisik, meliputi suhu, kelembapan, dan cahaya dianggap sama.
F. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi oleh beberapa hal, adalah sebagai berikut:
1. Untuk identifikasi Foraminifera, ciri-ciri yang diamati terbatas pada ciri-ciri morfologi, yaitu bentuk cangkang.
2. Penelitian dilakukan selama 1 bulan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Foraminifera
Foraminifera merupakan bagian dari kelompok besar amoeboid, protista, dengan ciri utamanya memiliki pseudopodia, sedangkan ciri khusus yang dimilikinya adalah memiliki cangkang. Menurut struktur tubuhnya foraminifera dibedakan atas endoplasma yang berglandular dan ectoplasma transparan yang merupakan pseudopodia yang keluar diantara lubang-lubang dicangkangnya, pseudopodia sendiri berfungsi sebagai alat untuk bergerak, penjangkaran dan untuk menangkap makanan terhadap makhluk hidup yang lebih kecil, semisal diatom atau bakteri (Anonim, 2010).
Foraminifera memiliki dua cara dalam bereproduksi, yaitu cara haploid dan diploid, meskipun mereka memiliki kesamaan yang tinggi dari segi bentuk. Pada sifat haploid memiliki nucleus tunggal dan digunakan untuk memproduksi gamets yang dicirikan dengan adanya dua flagel. Sedangkan tipe diploid atau schizont mempunyai sifat multinucleate. Sedangkan menurut ada atau tidaknya lubang foraminifera dibedakan menjadi dua tipe, yakni yang tidak berlubang dan yang berlubang banyak. Foraminifera yang tidak berlubang sebenarnya mamiliki lubang tunggal, dan melalui lubang inilah menjulur kaki semu. ukuran Foraminifera biasanya kurang dari 1 mm, namun ada juga yang jauh lebih besar, dan terbesar spesimen tercatat mencapai 19 cm (Anonim, 2010). Karena besarnya, hewan ini mampu memangsa protozoa kecil dan diatom. Foraminifera biasanya menghasilkan suatu tes atau shell yang dapat memiliki salah satu atau beberapa kamarSemua foraminifera mempunyai cangkang (Mohtarto dan Juwana, 2001). Cangkang yang dihasilkan oleh hewan ini umumnya terdiri dari bahan kitin atau kapur, kalsium karbonat (CaCO3) merupakan Bentuk dinding paling primitip. atau partikel sedimen yang menggumpal.. Beberapa cangkang terbentuk dari bahan silica atau gelatin, Jika penyusunnya hanya butir-butir pasir disebut arnaceous, jika material mika dsb. disebut aglutin. Sedangkan, atau terbentuk dari Dinding Gampingan (Anderson, O. Roger. 1988). Menurut Sibrani (2010), Endapan kerangka tubuh Foraminifera membentuk globigerina ooze, hidup di laut dan sebagai petunjuk adanya minyak bumi.
Berdasarkan keseragaman susunan kamar dikelompokkan menjadi tiga, yaitu Uniformed, Biformed dan triformed. Susunan disebut Uniformed jika disusun oleh satu jenis susunan kamar, misal uniserial saja atau biserial saja. Sedangkan Biformed apabila disusun oleh dua macam susunan kamar yang berbeda, missal diawalnya triserial kemudian menjadi biserial. Contoh: Heterostomella dan disebut Triformed apabila terdiri dari tiga susunan kamar yang berbeda. Contoh: Valvulina. Merupakan lobang utama pada cangkang yang biasanya terdapat pada bagian kamar terakhir (Roger, 1988).
Keanekaragaman Foraminifera yang melimpah dan memiliki morfologi yang kompleks, fosil Foraminifera berguna untuk biostratigrafi dan memberikan tanggal relative yang akurat terhadap batuan. Sedangkan industri minyak sangat tergantung pada Foraminifera yang dapat menentukan deposit minyak potensial (Ryo, 2010). Fosil Foraminifera terbentuk dari elemen yang di temukan di laut sehingga fosil ini berguna dalam paleoklimatologi dan paleoceanografi. Fosil Foraminifera ini dapat digunakan untuk merekonstruksi iklim masa lalu dengan memeriksa isotop stabil rasio oksigen dan sejarah siklus karbon dan produktivitas kelautan dengan memeriksa rasio isotop karbon.
Selain itu, menurut Muhtarto dan Juana (2001), Foraminifera dapat digunakan untuk menentukan suhu air laut dari masa ke masa sejarah bumi. Semakin rendah suhu pada zaman mereka hidup maka semakin kecil dan semakin kompak ukuran selnya dan lubang untuk protoplasma makin kecil. Dengan mempelajari cangkang forams dari sampel yang diambil dari dasar laut dan menghubungkan kedalaman sampel dengan waktu maka suhu samudra dapat diperkirakan sepanjang sejarah. Hal ini membantu menghubungkannnay dengan zaman es di bumi dan memahami pola cuaca umum yang terjadi di masa lalu.
Pada pola geografis fosil Foraminifera juga digunakan untuk merekonstruksi arus laut. Ada beberapa jenis Foraminifera tertentu yang hanya ditemukan di lingkungan tertentu sehingga ini dapat digunakan untuk mengetahui jenis lingkungan di mana sedimen laut kuno disimpan (Ryo, 2010). Selain itu, Foraminifera juga digunakan sebagai bioindikator di lingkungan pesisir termasuk indicator kesehatan terumbu karang. Hal ini dikarenakan kalsium karbonat rentan terhadap pelarutan dalam kondisi asam, sehingga Foraminifera juga terpengaruh pada perubahan iklim dan pengasaman laut. Pada arkeologi beberapa jenis merupakan bahan baku batuan. Beberapa jenis batu seperti Rijang, telah ditemukan mengandung fosil Foraminifera. Jenis dan konsentrasi fosil dalam sampel batu dapat digunakan untuk mencocokkan bahwa sampel diketahui mengandung jejak fosil yang sama (Ryo, 2010).
B. Bioindikator Minyak Bumi
Minyak bumi berasal dari pelapukan sisa-sisa organisme sehinggga disebut bahan bakar fosil. Minyak bumi dan gas alam berasal dari jasad renik lautan, tumbuhan dan hewan yang mati sekitar 150 juta tahun yang lampau. Sisa-sisa organisme itu mengendap di dasar lautan yang kemudian ditutupi oleh lumpur. Lapisan lumpur tersebut lambat laun berubah menjadi batuan karena pengaruh suhu dan tekanan lapisan di atasnya. Sementara itu,dengan meningkatnya tekanan dan suhu, bakteri anaerob menguraikan sisa-sisa jasad renik itu dan mengubahnya menjadi minyak dan gas (Amy, 2010).
Proses pembentukan minyak dan gas ini memakan waktu jutaan tahun. Minyak dan gas yang terbentuk meresap dalam batuan yang berpori. Minyak dan gas dapat pula bermigrasi dari suatu daerah ke daerah lain, kemudian terkonsentrasi jika terhalang oleh lapisan yang kedap. Walaupun minyak bumi dan gas alam terbentuk di dasar lautan, banyak sumber minyak dan gas yang terdapat di daratan. Hal ini terjadi karena pergerakan kulit bumi, seingga sebagian lautan menjadi daratan (Amy, 2010).
Bioindikator sendiri didefinisikan sebagai organisme yang menyediakan informasi kuantitatif tentang kualitas lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu, bioindikator yang baik akan menunjukkan kehadiran polutan dan juga berusaha untuk memberikan informasi tambahan tentang jumlah dan intensitas keadaan lingkungan (Anonym b, 2010). Berdasarkan teori pembentukannya, minyak bumi berasal dari pelapukan organisme hidup, seperti plankton yang berlangsung jutaan tahun. Pembentukan minyak bumi memerlukan lingkungan yang dapat memberi kadar zat organik tinggi dan memberi kesempatan pengawetan sehingga tidak terjadi pembusukan. Daerah pantai yang memiliki muara sungai menghadap ke laut, memiliki kemungkinan lebih besar memproduksi zat organik. Selanjutnya, zat organik menyebar ke dalam batuan serpih lempung yang halus, terakumulasi dan terkonsentrasi. Kemudian zat organik tersebut masuk ke dalam batuan dan terperangkap di dalam batuan sedimen.Setelah jutaan tahun mengalami pemanasan dan tekanan dari perut bumi, zat organik tersebut kemudian berubah menjadi minyak bumi (Bhandrik, 2010).
Plankton yang biasanya menjadi petunjuk adanya minyak bumi di suatu daerah adalah Foraminifera. Foraminifera merupakan zooplankton bercangkang yang hidup di laut dari filum Rhizopoda / Sarcodina (bergerak dengan pseupodopa / kaki semu). Cangkangnya yang terbuat dari kalsium karbonat (CaCO3) akan tetap utuh walaupun hewannya telah mati dan karena tekanan dan perubahan lingkungan yang ekstrim, cangkang tersebut dapat berubah menjadi minyak bumi (Bhandrik, 2010).
C. Selokan FMIPA Universitas Negeri Malang
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam terletak di jalan Gombong. Selokan berada disebelah timur Fakultas MIPA, dan terbentang dari gedung O8 SPA sampai sebelah barat Green House Biologi. Sedangkan sebelah timur selokan dibatasi oleh adanya rumah dinas. Panjang selokan apabila dihitung dari hulu sampai hilir yang menuju kali gombong. Sumber air selokan berasal dari air tanah yang terdapat disepanjang FMIPA dan dari air buangan kamar mandi yang terdapat digedung O7 (Matematika), O6 (Fisika), O5 (Biologi), dan SPA sendiri serta dari perumahan yang terdapat disekitar selokan, keadaan selokan dapat dikatakan sejuk karena terlindung dari keberadaan 4 gedung perkuliahan yang masing-masing setinggi 3 lantai, dan ditambah lagi lingkungan yang mayoritas pepohonan dan rerumputan yang ada sepanjang selokan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif. Sampel diambil dari 3 stasiun pengambilan yaitu bagian hulu, tengah dan hilir, masing-masing stasiun diambil 5 sampel sebagai ulangan.
B. Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi mikroskop, kaca benda dan kaca penutup, pipet, kamera, handcaunter, dan buku identifikasi Protozoa.
Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu kapas, jerami, dan sampel air selokan.
C. Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada bulan November 2010. Cara yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian adalah sebagai berikut:
1. Pengambilan sampel
Menyiapkan botol steril
Memasukkan botol ke dalam air selokan yang telah ditentukan sebagai stasiun pengambilan sampel
Stasiun 1 (hulu) sampel sebanyak 5 kali, dengan label 1a, 1b, 1c, 1d dan 1e
Stasiun 2 (tengah) sampel sebanyak 5 kali, dengan label 2a, 2b, 2c, 2d dan 2e
Stasiun 3 (hilir) sampel sebanyak 5 kali, dengan label 3a, 3b, 3c, 3d dan 3e
Menutup botol yang berisi sampel dengan kain kasa
2. Pemeliharaan sampel
Merebus jerami kering sampai lunak, dinginkan
Memasukkan jerami ke dalam botol selai kosong
Memasukkan sampel ke dalam botol selai yang sudah berisi jerami
Menyimpan sampel selama 3 hari sebelum pengamatan
3. Pengamatan
Meneteskan sampel pada kaca benda sebanyak 1 tetes, kemudian ditutup menggunakan kaca penutup
Melakukan pengamatan menggunakan mikroskop
Mengamati morfologi dan menghitung jumlah Foraminifera yang ditemukan dalam preparat
Memasukkan data ke dalam tabel data pengamatan
4. Identifikasi Foraminifera
Identifikasi untuk menentukan spesies Foraminifera menggunakan buku panduan “Protozoology” oleh R. P. Hall dan “Protozoology” oleh Klaus Hausmann dan Norbert Hulsmann.
Tabel 3.1 Identifikasi Foraminifera yang Digunakan dalam Penelitian yaitu sebagai berikut:
No. | Gambar | Ciri-ciri morfologi | Nama spesies Foraminifera yang ditemukan |
| | | |
Tabel 3.2 Jumlah Foraminifera yang Ditemukan adalah sebagai berikut:
No. | Stasiun | Sampel | Spesies | Jumlah individu |
| | a b c d e | | |
D. Analisa Data
Data diperoleh selanjutnya di analisis secara deskriptif, yaitu mendeskripsikan ciri-ciri morfologi Foraminifera yang ditemukan di air selokan. Ciri-ciri morfologi tersebut digunakan sebagai dasar untuk mengidentifikasi spesies Foraminifera yang dibandingkan dengan buku “Protozoology” oleh Klaus Hausmann dan Norbert Hulsmann, serta buku “Protozoology” oleh R. P. Hall.
Jumlah Foraminifera ditentukan dengan cara menghitung jumlah masing-masing spesies Foraminifera yang ditemukan pada preparat sampel. Jumlah spesies Foraminifera yang ditemukan digunakan untuk menunjukkan kelimpahan Foraminifera di air selokan FMIPA UM.
BAB IV
DATA DAN ANALISIS DATA
A. Data Hasil Pengamatan
Tabel 4.1 Identifikasi Foraminifera yang Ditemukan di Air Selokan FMIPA UM
No. | Gambar | Ciri-ciri Morfologi | Spesies |
1. | | Memiliki morfologi berbentuk bulat agak lonjong dengan spina di bagian dorsal. Kerangka terlihat transparan. Pseudopodia terlihat ketika membentuk juluran sitoplasma. | Acanthocystidae |
2. | | Morfologi berbentuk bulat dengan spina di sekitar permukaan sel, pada permukaan sel terlihat pori-pori, dan bagian aksial melebar. Kerangka foram ini terlihat bercahaya berwarna kebiru-biruan. | Globigerinella aequilateralis |
3. | | Berbentuk bulat dengan kerangka yang memiliki ornamentasi spina. Kerangka pada foram ini terlihat sedikit mengkilat dan berwarna merah kecoklatan | Acanthometra pellucida |
4. | | Bentuk sel lonjong dengan permukaan yang tidak rata, terlihat adanya lekukan dan tonjolan pada permukaan selnya. Spesies ini memiliki warna coklat muda dengan sedikit warna kemerahan di beberapa sisinya. Pseudopodia pada foram ini terlihat lebih lentur dibandingkan yang lainnya. Panjang peudopodia memiliki variasi yang beragam, ketebalannya pun juga memiliki variasi dalam satu organisme. | Webbinella crassa |
5. | | Morfologi Iridia disphana berbentuk bulat dan tidak berwarna atau transparan. Tubuhnya dikelilingi duri seperti pseudopodia dengan ukuran lebih panjang dibandingkan ukuran selnya serta terlihat tipis namun kaku | Iridia disphana |
Tabel 4.2 Jumlah Foraminifera yang Ditemukan di Air Selokan FMIPA UM
No. | Stasiun | Sampel | Spesies | Jumlah |
1. | 1 | a | Acanthocystidae Webbinella crassa | 2 5 |
| b | Acanthocystidae | 3 |
| Jumlah | 10 |
2. | 2 | a | Acanthocystidae Globigerinella aequilateralis Acanthometra pellucida Iridia disphana | 6 5 2 5 |
| b | Acanthocystidae Globigerinella aequilateralis | 11 3 |
| c | Acanthocystidae Webbinella crassa | 4 2 |
| e | Acanthocystidae | 2 |
| Jumlah | 40 |
3. | 3 | A | Acanthocystidae Webbinella crassa | 4 1 |
| E | Iridia disphana | 2 |
| Jumlah | 7 |
B. Analisis Data
Berdasarkan tabel data hasil pengamatan, diperoleh spesies Foraminifera sebanyak 5 spesies yang berbeda, yaitu, Acanthometra pellucida, Webbinella crassa, Iridia disphana, Globigerinella aequilateralis dan 1 spesies yang belum diketahui nama spesiesnya yang termasuk suborder Acanthocystidae. Pada morfologi Acanthocystidae terlihat duri-duri kaku di sekitar cangkang.
Berdasarkan tabel jumlah Foram yang ditemukan di air selokan FMIPA UM, diketahui pada stasiun 1 yang terletak di sebelah timur gedung O8 SPA ditemukan 2 spesies Foram yaitu Acanthocystidae dan Webbinella crassa. Jumlah keseluruhan Foram pada stasiun 1 sebanyak 10, dengan rincian pada stasiun 1 sampel a ditemukan Acanthocystidae sebanyak 2, dan Webbinella crassa sebanyak 5, sedangkan pada stasiun 1 sampel b ditemukan Acanthocystidae sebanyak 3, sehingga total masing-masing spesies Foram pada stasiun 1 adalah sebagai berikut:
Acanthocystidae = 1a + 1b
= 2 + 3
= 5
Webbinella crassa = 1a
= 5
Keterangan:
1a : jumlah Foram X pada stasiun 1 sampel a
1b : jumlah Foram X pada stasiun 1 sampel b
Pada stasiun 2 yang terletak di sebelah timur Gedung O6 Fisika, ditemukan 5 spesies Foram, yaitu Acanthocystidae, Globigerinella aequilateralis, Acanthometra pellucida, Acanthometra pellucida, dan Iridia disphana. Jumlah keseluruhan Foram yang ditemukan pada stasiun 2 sebanyak 40 dengan rincian pada sampel a ditemukan Acanthocystidae sebanyak 6, Globigerinella aequilateralis sebanyak 5, Acanthometra pellucida sebanyak 2 dan Iridia disphana sebanyak 5. Pada sampel b ditemukan Foram sebanyak 2 spesies dengan rincian Achanthocystidae sebanyak 11 dan Globigerinella aequilateralis sebanyak 3. Pada sampel c ditemukan 2 spesies Foram, yaitu Acanthocystidae sebanyak 4 dan Webbinella crassa sebanyak 2. Pada sampel e ditemukan 1 spesies Foram yaitu Acanthocystidae sebanyak 2. Berdasarkan jumlah keseluruhan Foram pada stasiun 2, maka total masing-masing spesies Foram adalah sebagai berikut:
Acanthocystidae = 2a + 2b + 2c + 2e
= 6 + 11 + 4 + 2
= 23
Globigerinella aequilateralis = 2a + 2b
= 5 +3
= 8
Acanthometra pellucida = 2a
= 5
Webbinella crassa = 2c
= 2
Iridia disphana = 2a
= 5
Keterangan:
2a : jumlah Foram X pada stasiun 2 sampel a
2b : jumlah Foram X pada stasiun 2 sampel b
2c : jumlah Foram X pada stasiun 2 sampel c
2e : jumlah Foram X pada stasiun 2 sampel e
Pada stasiun 3 yang terletak di sebelah utara Green House ditemukan 3 spesies Foram, yaitu Acanthocystidae, Webbinella crassa dan Iridia disphana. Jumlah keseluruhan Foram pada stasiun 3 sebanyak 7 dengan rincian pada sampel a ditemukan Acanthocystidae sebanyak 4 dan Webbinella crassa sebanyak 1, sedangkan pada sampel e ditemukan Iridia disphana sebanyak 2, sehingga total masing-masing spesies Foram pada stasiun 3 adalah sebagai berikut:
Acanthocystidae = 3a
= 4
Webbinella crassa = 3a
= 1
Iridia disphana = 3e
= 2
Keterangan:
3a : jumlah Foram X pada stasiun 3 sampel a
3e : jumlah Foram X pada stasiun 3 sampel e
Jumlah total masing-masing spesies Foraminifera yang ditemukan dari keseluruhan sampel pada 3 stasiun, adalah sebagai berikut:
Acanthocystidae = Σ stasiun 1 + Σ stasiun 2 + Σ stasiun 3
= 5 + 23 + 4 = 32
Globigerinella aequilateralis = Σ stasiun 2
= 8
Acanthometra pellucida = Σ stasiun 2
= 5
Webbinella crassa = Σ stasiun 1 + Σ stasiun 2 + Σ stasiun 3
= 5 + 2 +1 = 8
Iridia disphana = Σ stasiun 2 dan Σ stasiun 3
= 5 + 2 = 7
Jumlah total Foraminifera yang ditemukan dari air selokan FMIPA UM dari hasil pengamatan yaitu 60. Maka kelimpahan masing-masing spesies Foraminifera yang ditemukan dari air selokan FMIPA UM adalah sebagai berikut:
Kelimpahan =
Kelimpahan Acanthocystidae =
= 53,3%
Kelimpahan Iridia disphana =
= 11,6%
Kelimpahan Globigerinella aequilateralis =
= 13,3%
Kelimpahan Acanthometra pellucida =
= 8,3%
Kelimpahan Webbinella crassa =
= 13,3%
Berdasarkan perhitungan kelimpahan masing-masing spesies, maka dapat diketahui bahwa spesies Acanthocystidae memiliki prosentase paling besar, yaitu 53,3%, sedangkan prosentase kedua yaitu Globigerinella aequilateralis dan Webbinella crassa sebesar 13,3%, sedangkan prosentase terkecil adalah Acanthometra pellucida sebesar 8,3%.
BAB V
PEMBAHASAN
Foraminifera merupakan Protozoa yang termasuk dalam kelas Rhizopoda. Foram banyak ditemukan di habitat air laut, namun juga dapat ditemukan di habitat air payau dan air tawar. Foraminifera merupakan kelompok besar protista amoeboid dengan kaki-kaki pseupodia, helai halus sitoplasma yang bercabang dan bergabung untuk membentuk jaring dinamis. Morfologi Foraminifera secara umum mempunyai cangkang (Mohtarto dan Juwana, 2001). Cangkang yang dihasilkan oleh hewan ini umumnya terdiri dari bahan kitin atau kapur, kalsium karbonat (CaCO 3) atau partikel sedimen yang menggumpal. Beberapa cangkang terbentuk dari bahan silica atau gelatin, sedangkan materi cangkang yang lain berasal dari bahan luar yang direkat menjadi satu. Cangkang pada foram membentuk ornamentasi yang kadang-kadang sangat khas hanya ada pada satu spesies foram tertentu, sehingga ornamentasi pada cangkang dapat dipergunakan sebagai salah satu kriteria dalam klasifikasi.
Berdasarkan hasil pengamatan pada air sampel selokan FMIPA UM, diperoleh 6 spesies Foraminifera yaitu Acanthocystidae, Globigerinella aequilateralis, Acanthometra pellucida, Webbinella crassa, dan Iridia disphana. Masing-masing spesies foram yang kami amati, memiliki perbedaan morfologi yang jelas, meliputi ornamentasi cangkang dan warna sel. Acanthocystidae berbentuk bulat agak lonjong dengan spina di bagian dorsal. Kerangka terlihat transparan karena ornamentasi dinding cangkang terdiri dari hyalin. Menurut Roger (1988), foram yang memiliki dinding cangkang yang dari hyalin terlihat bening dan transparan serta berpori. Pseudopodia Acanthocystidae terlihat jelas ketika membentuk juluran sitoplasmaMorfologi Globigerinella aequilateralis berbentuk bulat dengan spina di sekitar permukaan sel, pada permukaan sel terlihat pori-pori, dan bagian aksial melebar. Kerangka foram ini terlihat bercahaya berwarna kebiru-biruan. Menurut Chaisson (1997), Globigerinella aequilateralis berbentuk bulat subglobular, permukaan cangkang halus dengan spina sederhana pada seluruh permukaan sel. Aperture berada di bagian interiomarginal.
Acanthometra pellucida memiliki morfologi bulat atau silinder, tipis, dengan ornamentasi cangkang yang khas. Menurut Muller (1856), Acanthometra pellucida terdiri dari spikula dengan ukuran dan bentuk yang sama, tipis, berbentuk silinder, fleksibel, dan terlihat tajam. Pada foram ini, spikula terkait di pusat sel dengan tepi membentuk piramida sebanyak 5. Kerangka berbentuk poligonal, endoplasma berwarna kuning kehijauan dan inti terlihat jelas. Endoplasma dibatasi oleh selapis membran berwarna, kapsul transparan, dinding ektoplasma terlihat jelas. Endoplasma dibatasi oleh membran tipis berwarna, kapsul transparan, dinding ektoplasma jelas, dengan untaian sitoplasma halus. Diameter sel tubuh mencapai 0,24 mm, dan panjang spikula 0,43-0,56 mm. Menurut Roger (1988), dinding kerangka Acanthometra pellucida berupa dinding granular yang terdiri dari kristal-kristal kalsit yang granular, dalam sayatan tipis tampak gelap.
Webbinella crassa berbentuk sel lonjong dengan permukaan yang tidak rata, terlihat adanya lekukan dan tonjolan pada permukaan selnya. Spesies ini memiliki warna coklat muda dengan sedikit warna kemerahan di beberapa sisinya. Pseudopodia pada foram ini terlihat lebih lentur dibandingkan yang lainnya. Panjang peudopodia memiliki variasi yang beragam, ketebalannya pun juga memiliki variasi dalam satu organisme. Berdasarkan pengamatan morfologi, ornamentasi cangkang pada Webbinella crassa termasuk ornamentasi reticulate. Menurut Roger (1988), ornamentasi reticulate merupakan dinding cangkang yang terbuat dari tempelan material asing. Webbinella crassa menghasilkan gelatin yang dapat merekatkan material di sekitarnya sebagai bahan pembentuk cangkang.
Iridia disphana berbentuk bulat dan tidak berwarna atau transparan. Tubuhnya dikelilingi duri seperti pseudopodia dengan ukuran lebih panjang dibandingkan ukuran selnya serta terlihat tipis namun kaku. Ornamentasi cangkang pada Iridia disphana berbentuk spine, yaitu duri-duri yang menonjol pada bagian tepi kamar.
Keanekaragaman Foraminifera sangat berlimpah dengan morfologi yang kompleks. Foraminifera memiliki beberapa peranan, yaitu fosil Foraminifera berguna untuk biostratigrafi yang akurat terhadap batuan. Industri minyak sangat tergantung pada Foraminifera, karena Foraminifera dapat digunakan sebagai bioindikator keberadaan minyak bumi. Minyak bumi berasal dari pelapukan sisa-sisa organisme sehinggga disebut bahan bakar fosil. Minyak bumi dan gas alam berasal dari jasad renik yang hidup di lautan, tumbuhan dan hewan yang mati sekitar 150 juta tahun yang lampau. Sisa-sisa organisme itu mengendap di dasar lautan yang kemudian ditutupi oleh lumpur. Lapisan lumpur tersebut lambat laun berubah menjadi batuan karena pengaruh suhu dan tekanan lapisan di atasnya. Sementara itu,dengan meningkatnya tekanan dan suhu, bakteri anaerob menguraikan sisa-sisa jasad renik itu dan mengubahnya menjadi minyak dan gas (Amy, 2010). Proses pembentukan minyak dan gas ini memakan waktu jutaan tahun. Minyak dan gas yang terbentuk meresap dalam batuan yang berpori. Minyak dan gas dapat pula bermigrasi dari suatu daerah ke daerah lain, kemudian terkonsentrasi jika terhalang oleh lapisan yang kedap. Berdasarkan teori pembentukan tersebut, minyak bumi berasal dari pelapukan organisme hidup, seperti plankton yang berlangsung jutaan tahun. Foraminifera adalah salah satu organisme yang berperan sebagai plankton. Meskipun organisme ini sudah mati, kandungan bahan organiknya masih tetap ada, sehingga ketika zat organik yang berasal dari fosil Foraminifera terakumulasi dan terkonsentrasi pada suatu tempat, kemudian mengalami pemanasan dan tekanan, zat organik tersebut akan berubah menjadi minyak bumi (Bhandrik, 2010).
Keanekaragaman Foraminifera dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi waktu, perubahan iklim, perubahan pusaran air, aliran air, dan suhu. Keberadaan Foraminifera di air selokan FMIPA UM dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pusaran air, aliran air dan suhu. Air selokan FMIPA UM berasal dari air tanah yang muncul ke permukaan tanah karena beberapa sebab, misalnya karena adanya celah yang menghubungkan batuan kedap dengan permukaan tanah dan karena kegiatan manusia, misalnya dilakukan pengeboran. Air tanah terdapat dalam lapisan tanah atau bebatuan di bawah permukaan tanah. Lapisan di dalam bumi yang dengan mudah dapat membawa atau menghantar air disebut lapisan pembawa air, misalnya lapisan pasir dan kerikil, atau di daerah tertentu, lava dan batu gampil. Air tanah dapat berasal dari resapan air permukaan maupun dari resapan air laut. Foraminifera dapat masuk ke dalam aliran air tanah karena tempat resapan air membentuk pusaran air, sehingga organisme menjadi terkumpul dalam satu tempat. Foraminifera selanjutnya akan terdistribusi bersama dengan aliran air tanah. Ketika aliran tanah menuju permukaan, Foraminifera ikut terhanyut menuju aliran air di permukaan. Apabila kondisi lingkungan permukaan sesuai, Foraminifera dapat bertahan hidup. Foraminifera membutuhkan suhu yang hangat untuk dapat bertahan hidup.
Kelimpahan suatu organisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi suhu, makanan, pH, dan kadar oksigen terlarut (DOD). Keberadaan Foraminifera di air selokan FMIPA UM dapat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan yang cukup. Air selokan FMIPA UM memiliki kedalaman ± 20 cm, sehingga sinar matahari dapat mencapai dasar selokan. Karena kebutuhan cahaya tercukupi, organisme lain misalnya alga dan Protozoa lain dapat berkembang baik. Organisme yang berukuran lebih kecil dari Foraminifera akan menjadi makanan dari Foraminifera. Oksigen terlarut dapat dihasilkan oleh tumbuhan air dan alga yang melakukan fotosintesis, sehingga kadar oksigen di air selokan FMIPA UM cukup tinggi.
Berdasarkan perhitungan prosentase kelimpahan Foraminifera yang ditemukan di air selokan FMIPA UM, diketahui bahwa spesies Acanthocystidae memiliki prosentase paling besar, yaitu 53,3%, sedangkan prosentase kedua yaitu Globigerinella aequilateralis dan Webbinella crassa sebesar 13,3%, sedangkan prosentase terkecil adalah Acanthometra pellucida sebesar 8,3%. Faktor yang dapat mempengaruhi Acanthocystidae memiliki tingkat kelimpahan tertinggi sebesar 53,3% di air selokan FMIPA dikarenakan spesies Acanthocystidae dapat hidup di habitat air tawar dan memakan organisme lain yang berukuran lebih kecil. Ukuran dari Acanthocystidae tergolong sangat kecil, sehingga dapat dengan mudah menmbus lapisan-lapisan batuan dan ikut aliran tanah menuju permukaan. Kelimpahan kedua yaitu spesies Globigerinella aequilateralis dan Webbinella crassa sebesar 13,3%. Morfologi kedua spesies Foram ini berukuran sedang, sehingga cukup mudah untuk menembus pori-pori batuan. Sedangkan kelimpahan terkecil pada Acanthometra pellucida sebesar 8,3. Menurut Hausmann dan Hulsmann (1996), Acanthometra pellucida termasuk ke dalam Forainifera purba. Habitat dari Acanthometra pellucida yaitu di laut, sehingga apabila di temukan Acanthometra pellucida di air selokan maka salah satu kemungkinan yang terjadi yaitu spesies ini terikut aliran air tanah menuju permukaan.
Jumlah total Foraminifera yang ditemukan paling banyak berasal dari sampel yang diambil pada stasiun 2 sebanyak 40, yaitu bagian tengah yang berada di sebelah timur gedung Fisika. Hal ini dikarenakan air tanah yang berasal dari selokan kecil Fisika mengalir cukup deras tanpa henti. Air tanah yang muncul di permukaan ditemukan sebanyak 5 titik. Jumlah total Foraminifera kedua ditemukan pada sampel yang diambil dari stasiun 1 sebanyak 10. Hal ini dikarenakan air di bagian hilir berasal dari rembesan air tanah, namun volume airnya sangat sedikit. Sedangkan jumlah total Foraminifera paling sedikit ditemukan pada sampel yang diambil dari stasiun 3 di bagian hilir sebelah barat Green House Biologi sebanyak 7. Foraminifera yang ditemukan pada stasiun ini sangat sedikit karena air tanah yang muncul pada stasiun ini berdasarkan hasil pengamatan tidak ada. Selain itu, aliran air selokan pada stasiun 3 sudah mulai deras, sehingga kemungkinan Foraminifera yang berasal dari bagian hulu dan tengah cepat hanyut menuju parit besar yang bermuara di sungai Gombong.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan diatas, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1) Foraminifera yang ditemukan dan diidentifikasi dari air selokan FMIPA UM sebanyak 5 spesies, yaitu Acanthometra pellucida, Webbinella crassa, Iridia disphana, Globigerinella aequilateralis dan 1 spesies yang belum diketahui nama spesiesnya yang termasuk suborder Acanthocystidae.
2) Perbedaan morfologi untuk identifikasi Foraminifera meliputi ornamentasi cangkang dan warna sel. Acanthocystidae berbentuk bulat agak lonjong dengan spina di bagian dorsal, kerangka tersusun dari hyalin. Globigerinella aequilateralis berbentuk bulat dengan spina di sekitar permukaan sel, pada permukaan sel terlihat pori-pori. Acanthometra pellucida berbentuk bulat atau silinder, tipis, dengan ornamentasi cangkang yang khas. Spikula terkait di pusat sel dengan tepi membentuk piramida sebanyak 5. Kerangka berbentuk poligonal yang terdiri dari kristal-kristal kalsit. Webbinella crassa berbentuk lonjong dengan struktur ornamentasi cangkang reticulate. Iridia disphana berbentuk bulat, memiliki ornamentasi cangkang berbentuk spine.
3) Prosentase kelimpahan Foraminifera dari yang tertinggi menuju terendah berturut-turut adalah Acanthocystidae memiliki prosentase paling besar, yaitu 53,3%, prosentase kedua yaitu Globigerinella aequilateralis dan Webbinella crassa sebesar 13,3%, sedangkan prosentase terkecil adalah Acanthometra pellucida sebesar 8,3%.
B. Saran
Berdasarkan kajian yang telah kami lakukan, maka dapat disarankan sebagai berikut:
1) Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi keberadaan Foraminifera di lingkungan air selokan FMIPA UM.
2) Melakukan penelitian tentang cara mengembangbiakkan Foraminifera yang ditemukan dalam media buatan sebagai media pembelajaran.
3) Menjaga lingkungan perairan FMIPA UM supaya tidak tercemar polutan, sehingga tidak merusak keanekaragaman spesies Foraminifera yang ada di dalamnya.
DAFTAR RUJUKAN
Anderson, O. Roger. 1988. Comparative Protozoology: Ecologi, Physiology, Life History. USA: Columbia University.
Bhandrik, Ryo. 2010. Mengapa Fosil Foraminifera Dijadikan Petunjuk Adanya Minyak Bumi?. (Online), (http://id.answers.yahoo.com/my/profile, diakses 31 Oktober 2010)
Hausmann, Klaus dan Hulsmann, Norbert. 1996. Protozoology. New York: Thieme Medical Publisher, Inc.
Mohtarto Romi, Kasijan, dan Juwana, Sri. 2001. BIOLOGI LAUT: Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta: Penerbit Djambatan
Muller. 1856. Prozoa. (Online), (http://Acanthometra%2Bpellucida%26hl%3Did%26biw%3D1280%26bih%3D586.pdf, diakses tanggal 30 November 2010)