Mendung
mulai menggayut di kaki langit. Sinar mentari perlahan mulai memudar. Cuaca
yang cerah mendadak berubah kelam. Angin mulai kencang berhembus. Debu jalan menari-nari
mengotori udara. Daun-daun kering berjatuhan dari tangkai pohon terserak
dimana-mana. Kucing yang biasanya berkeliaran sepanjang jalan memilih enggan
keluar dari persembunyiannya. Burung yang terbang mencari makan memilih kembali
ke sarang. Disaat semuanya memilih berdiam ditempat perlindungannya, nampak
sosok bocah kecil duduk sendirian di bawah pohon beringin tepi jalan. Kuperhatikan
dari balik kaca mobilku yang buram berdebu, tak ada tanda-tanda seorang pun
menjemputnya. Dua jam berlalu dan tetap tak nampak siapapun selain dirinya. Aku
mulai penasaran apa yang diperbuat bocah kecil itu ditempat itu.
Kujalankan
mobilku perlahan menuju kearahnya. Kuurungkan niatku langsung menghampirinya.
Aku kembali memilih berdiam dalam mobil, menunggu beberapa saat lagi. Kuperhatikan
lebih detil bocah kecil yang berjarak 3 meter dihadapanku. Kepalanya tertutup
jilbab putih kusam. Kedua matanya menatap lurus ke persimpangan jalan. Tangan
kecilnya menghitung kancing baju berulang-ulang. Terlihat jelas bahwa bocah
kecil itu cemas menunggu seseorang entah siapa. Langit semakin gelap dan hembus
angin semakin kencang, namun tak kulihat bocah kecil itu berniat beranjak dari
tempatnya.
Kubuka
pintu mobil dan berjalan kearahnya. Sang bocah diam melihatku menghampirinya.
Kulemparkan senyum dan duduk disampingnya. dia tetap diam mengacuhkanku. Kamu
tahu, aku paling sulit untuk memulai obrolan sekedar basa-basi. Istriku juga
sempat mengeluh tentang hal itu. “Jangan terlalu serius Pi, nanti cepat capek”
nasehatnya padaku.
Aku
menoleh kearahnya, tetap tak ada respon darinya. Aku ingat jika disaku celanaku
ada permen. Aku selalu menyimpannya sekedar untuk mengurangi stress. Kusodorkan
beberapa bungkus permen kehadapannya. Dia menoleh kearahku, aku terpesona bening
matanya. Mata kecil yang memunculkan kembali keinginanku yang belum tercapai. Aku
menginginkan buah hati hadir ditengah-tengah keluarga kami. Namun, aku sadar
keinginan itu tidak mungkin terwujud tanpa ada sperma fertil yang membuahi sel
telur istriku. Karena itu, aku kembali harus memendam keinginan untuk dipanggil
“Papa”.
“Jika
kamu tidak mengatakan sesuatu, bagaimana aku tahu maksudmu dengan permen itu?”
suara kecilnya membuyarkan lamunanku. Aku tersentak kaget dengan pertanyaan
yang dilontarkannya padaku. Kenapa dia menanyakan itu? Bukankah sudah jelas
jika aku bermaksud memberinya permen. Apakah dia benar-benar tidak mengerti
maksudku. Puluhan pertanyaan berjejal di otakku.
Aku
mencoba tersenyum padanya. “Aku memberikan permen ini padamu, ambillah…” kataku
kembali menyodorkan permen padanya. Tangannya yang mungil mengambil semua permen
yang ada ditelapak tanganku. Aku kembali tersenyum melihat tingkahnya. Alangkah
polos bocah kecil ini. Aku menduga umurnya baru 5 tahun sama seperti
keponakanku. Kenapa dia bisa ada dikota kejam ini seorang diri. Kami sama-sama
kembali terdiam. Kulirik bocah kecil disampingku yang menikmati permen
pemberianku. Kulihat dia menyimpan sisa permen di saku bajunya yang usang.
“Sebentar
lagi hujan badai, kenapa kamu masih disini?” tanyaku.
“Aku
sedang menunggu kakak membeli makan, tapi sampai sekarang dia belum juga kembali,”
jawabnya sambil menoleh padaku. Kulihat bulir airmata menggantung di kedua bola
matanya.
“Sudah
berapa lama dia pergi?” tanyaku lagi. Ingin aku menghapus airmatanya yang
hampir tumpah. Mengulurkan tangan dan mendekapnya.
“Satu
minggu yang lalu,” jawabnya singkat. Kini airmatanya tak bisa dibendungnya
lagi. Dia menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang melingkari
lutut. Tak ada suara, hanya isak tangis yang terdengar olehku. Kubelai kepalanya
yang tertutup jilbab, berharap sedikit menenangkannya. Dia mengangkat kepala
memandangku. Ahh…tatapan mata itu seakan meraih tanganku untuk menggapainya.
Ada banyak cerita yang terekam disana.
“Kamu
pasti belum makan,” kataku menduga.
“Kakak
belum pulang membawa makanan, tapi aku sudah kenyang minum ini selama
menunggunya,” jawabnya sambil memperlihatkan kaleng bekas air mineral yang
diisi entah dengan air matang atau air mentah. Tiba-tiba kurasakan sakit di ulu
hati. Nyaliku menciut dihadapan bocah kecil ini. Betapa tegar dia menghadapi
cobaan yang menimpanya seperti saat ini. Sedangkan aku…
“Ven,
intensitas jual produk kita dipasaran semakin menurun. Kita butuh suntikan dana
untuk peningkatan kualitas produksi. Terima saja tawaran pak Broto untuk ikut
menanamkan saham di perusahaan ini. Toh kita juga ikut untung kalau produksi
kita meningkat. Kita bisa buka cabang baru. Uang akan terus mengalir ke kantong
kita.” Fredo tertawa terbahak-bahak dihadapanku.
Aku
menimbang-nimbang keputusan mana yang akan aku ambil. Aku tahu betul siapa pak Broto
dan tujuannya ikut andil di perusahaan ini. Perusahaan yang didirikan ayahku
dan seorang sahabatnya. Sahabat yang di kemudian hari mengkhianatinya dengan
menjual hampir separuh saham perusahaan tanpa sepengetahuan ayah. Sahabat itu
kabur entah kemana saat perusahaan hampir gulung tikar. Sekarang, saat
perusahaan ini kembali mengalami kesulitan finansial, dia datang menawarkan
bantuan. Sejujurnya aku ingin menolak tawaran itu, tapi dengan konsekuensi
intensitas produksi turun. Itu artinya semakin kecil pula pemasukan yang aku
terima. Aku semakin bimbang dengan keputusanku. Rasa sakit di kepala kembali
menyerangku. Aku merintih memegangi kepalaku. Aku tersungkur dan terjatuh ke
lubang yang sangat dalam. Kegelapan menyelimutiku. Aku berteriak minta tolong,
tapi suaraku tercekat ditenggorokan. Tak ada siapapun, aku menggigil ketakutan.
Tiba-tiba tangan kecil terulur menarikku. Secercah cahaya nampak dimataku. Lamat-lamat
kudengar suara kecil memanggil-manggil.
“Kamu…kamu
kenapa?” kurasakan tangan kecil menarik-narik lenganku. Perlahan kubuka mata,
agak kabur kulihat wajah cemas menatapku. Nyeri di kepalaku masih kurasakan
meskipun mulai berkurang. Aku sadar bahwa aku belum sampai dirumah. Aku pingsan
dibawah pohon pinggir jalan bersama bocah kecil yang baru saja kukenal. Segera
aku bangkit berdiri membersihkan baju dan celanaku. Kupandangi wajah sang bocah
yang masih bingung.
“Ayo
ikut kerumahku. Kamu bisa makan disana, setelah itu kita cari kakakmu
bersama-sama,” tawarku padanya. Tampak matanya berbinar-binar karena senangnya.
Dia langsung berlari menuju mobilku yang kuparkir dipinggir jalan, aku beranjak
mengikutinya. Langit semakin gelap tertutup mendung yang semakin pekat. Kujalankan
mobilku dengan kecepatan sedang menembus kabut yang mulai turun.
Mobil
memasuki halaman rumah. Kulihat istriku tersenyum menyambutku di teras rumah.
Ada kebahagiaan terpancar dari raut wajahnya. Mungkin karena ini pertama kalinya
aku membawa tamu kerumah bukan rekan bisnisku. Bocah kecil itu memandangku.
“Inikah rumahmu?” tanyanya padaku. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.
“Besar ya… seperti rumahku dulu sebelum terbakar” timpalnya kemudian. Aku
terdiam penuh tanya dengan perkataan sang bocah barusan. Istriku menghampiri
kami dan segera diajaknya bocah kecil itu masuk kedalam rumah. Aku berjalan
tanpa kata mengikuti dibelakang.
Dari
balik kaca ruang tamu yang basah berembun, kulihat genangan air dijalan raya
depan rumah semakin meninggi. Langit tak henti-hentinya menumpahkan airmata,
mungkin karena beban yang ditanggungnya semakin berat. Kunikmati segelas kopi buatan
istriku. Kubuka buku catatanku. Tampak di ruang makan istriku sedang menemani
sang bocah makan dengan lahap. Senyum terus mengembang menghiasi bibirnya yang manis.
Ternyata istriku tahu kalau aku memperhatikannya, dia berkedip penuh arti
padaku. Aku tersenyum membalasnya.
Kami
bertiga duduk didepan televisi. Kuperhatikan kembali bocah kecil yang duduk
diantara aku dan istriku. Bocah kecil yang terpaksa harus menjalani kenyataan
pahit di usianya yang masih belia. Meskipun begitu, tak nampak sedikitpun
keinginannya untuk menyerah pada keadaan. Raut wajahnya yang selalu
berseri-seri menunjukkan semangatnya yang terus berkobar.
Ditemukan
mayat seorang bocah berusia 10 tahun dibawah jembatan jalan Mawar kompleks perumahan
Harum Wangi. Diduga sebagai korban tabrak lari. Aku teringat cuplikan berita
yang disiarkan salah satu stasiun televisi 3 hari lalu. Mungkinkah itu kakak
dari bocah kecil ini??
Kuusap
lembut kepala sang bocah, dia menoleh memandangku. “Kamu boleh tinggal disini dan
kita akan mencari kakakmu bersama-sama” kataku padanya. Istriku tersenyum
mengiyakan perkataanku. Bocah kecil itu memandang kami bergantian dan
tersenyum. Senyum yang selalu penuh harapan. Senyum yang menyelamatkanku dari
kegelapan. Senyum yang membawa kebahagiaan pada keluarga kami.
“Demi Allah, bukanlah kefakiran atau
kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian, akan tetapi justru aku kuatir (
kalau-kalau) kemewahan dunia yang kalian dapatkan sebagaimana yang telah
diberikan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian bergelimang dalam
kemewahan itu sehingga binasa, sebagaimana mereka bergelimang dan binasa pula ( HR. Bukhari ).”
Kututup
buku catatanku dengan perasaan bahagia memenuhi relung kalbu. Kini telah
kutemukan kebahagiaan yang sebenarnya. Kebahagiaan yang takkan ternilai dengan
tumpukan lembar-lembar rupiah. Tiada henti kuucap syukur atas karunia-Nya. Terimakasih
Tuhan telah mengirimkannya pada kami. Hujan deras diluar sana mulai reda. Air
bah yang tertumpah berganti rintik-rintik gerimis yang mendamaikan hati.
Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapus