all about me

Senin, 03 Desember 2012

BOCAH KECIL DI UJUNG JALAN


Mendung mulai menggayut di kaki langit. Sinar mentari perlahan mulai memudar. Cuaca yang cerah mendadak berubah kelam. Angin mulai kencang berhembus. Debu jalan menari-nari mengotori udara. Daun-daun kering berjatuhan dari tangkai pohon terserak dimana-mana. Kucing yang biasanya berkeliaran sepanjang jalan memilih enggan keluar dari persembunyiannya. Burung yang terbang mencari makan memilih kembali ke sarang. Disaat semuanya memilih berdiam ditempat perlindungannya, nampak sosok bocah kecil duduk sendirian di bawah pohon beringin tepi jalan. Kuperhatikan dari balik kaca mobilku yang buram berdebu, tak ada tanda-tanda seorang pun menjemputnya. Dua jam berlalu dan tetap tak nampak siapapun selain dirinya. Aku mulai penasaran apa yang diperbuat bocah kecil itu ditempat itu.
Kujalankan mobilku perlahan menuju kearahnya. Kuurungkan niatku langsung menghampirinya. Aku kembali memilih berdiam dalam mobil, menunggu beberapa saat lagi. Kuperhatikan lebih detil bocah kecil yang berjarak 3 meter dihadapanku. Kepalanya tertutup jilbab putih kusam. Kedua matanya menatap lurus ke persimpangan jalan. Tangan kecilnya menghitung kancing baju berulang-ulang. Terlihat jelas bahwa bocah kecil itu cemas menunggu seseorang entah siapa. Langit semakin gelap dan hembus angin semakin kencang, namun tak kulihat bocah kecil itu berniat beranjak dari tempatnya.
Kubuka pintu mobil dan berjalan kearahnya. Sang bocah diam melihatku menghampirinya. Kulemparkan senyum dan duduk disampingnya. dia tetap diam mengacuhkanku. Kamu tahu, aku paling sulit untuk memulai obrolan sekedar basa-basi. Istriku juga sempat mengeluh tentang hal itu. “Jangan terlalu serius Pi, nanti cepat capek” nasehatnya padaku.
Aku menoleh kearahnya, tetap tak ada respon darinya. Aku ingat jika disaku celanaku ada permen. Aku selalu menyimpannya sekedar untuk mengurangi stress. Kusodorkan beberapa bungkus permen kehadapannya. Dia menoleh kearahku, aku terpesona bening matanya. Mata kecil yang memunculkan kembali keinginanku yang belum tercapai. Aku menginginkan buah hati hadir ditengah-tengah keluarga kami. Namun, aku sadar keinginan itu tidak mungkin terwujud tanpa ada sperma fertil yang membuahi sel telur istriku. Karena itu, aku kembali harus memendam keinginan untuk dipanggil “Papa”.
“Jika kamu tidak mengatakan sesuatu, bagaimana aku tahu maksudmu dengan permen itu?” suara kecilnya membuyarkan lamunanku. Aku tersentak kaget dengan pertanyaan yang dilontarkannya padaku. Kenapa dia menanyakan itu? Bukankah sudah jelas jika aku bermaksud memberinya permen. Apakah dia benar-benar tidak mengerti maksudku. Puluhan pertanyaan berjejal di otakku.
Aku mencoba tersenyum padanya. “Aku memberikan permen ini padamu, ambillah…” kataku kembali menyodorkan permen padanya. Tangannya yang mungil mengambil semua permen yang ada ditelapak tanganku. Aku kembali tersenyum melihat tingkahnya. Alangkah polos bocah kecil ini. Aku menduga umurnya baru 5 tahun sama seperti keponakanku. Kenapa dia bisa ada dikota kejam ini seorang diri. Kami sama-sama kembali terdiam. Kulirik bocah kecil disampingku yang menikmati permen pemberianku. Kulihat dia menyimpan sisa permen di saku bajunya yang usang.
“Sebentar lagi hujan badai, kenapa kamu masih disini?” tanyaku.
“Aku sedang menunggu kakak membeli makan, tapi sampai sekarang dia belum juga kembali,” jawabnya sambil menoleh padaku. Kulihat bulir airmata menggantung di kedua bola matanya.
“Sudah berapa lama dia pergi?” tanyaku lagi. Ingin aku menghapus airmatanya yang hampir tumpah. Mengulurkan tangan dan mendekapnya.
“Satu minggu yang lalu,” jawabnya singkat. Kini airmatanya tak bisa dibendungnya lagi. Dia menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang melingkari lutut. Tak ada suara, hanya isak tangis yang terdengar olehku. Kubelai kepalanya yang tertutup jilbab, berharap sedikit menenangkannya. Dia mengangkat kepala memandangku. Ahh…tatapan mata itu seakan meraih tanganku untuk menggapainya. Ada banyak cerita yang terekam disana.
“Kamu pasti belum makan,” kataku menduga.
“Kakak belum pulang membawa makanan, tapi aku sudah kenyang minum ini selama menunggunya,” jawabnya sambil memperlihatkan kaleng bekas air mineral yang diisi entah dengan air matang atau air mentah. Tiba-tiba kurasakan sakit di ulu hati. Nyaliku menciut dihadapan bocah kecil ini. Betapa tegar dia menghadapi cobaan yang menimpanya seperti saat ini. Sedangkan aku…
“Ven, intensitas jual produk kita dipasaran semakin menurun. Kita butuh suntikan dana untuk peningkatan kualitas produksi. Terima saja tawaran pak Broto untuk ikut menanamkan saham di perusahaan ini. Toh kita juga ikut untung kalau produksi kita meningkat. Kita bisa buka cabang baru. Uang akan terus mengalir ke kantong kita.” Fredo tertawa terbahak-bahak dihadapanku.
Aku menimbang-nimbang keputusan mana yang akan aku ambil. Aku tahu betul siapa pak Broto dan tujuannya ikut andil di perusahaan ini. Perusahaan yang didirikan ayahku dan seorang sahabatnya. Sahabat yang di kemudian hari mengkhianatinya dengan menjual hampir separuh saham perusahaan tanpa sepengetahuan ayah. Sahabat itu kabur entah kemana saat perusahaan hampir gulung tikar. Sekarang, saat perusahaan ini kembali mengalami kesulitan finansial, dia datang menawarkan bantuan. Sejujurnya aku ingin menolak tawaran itu, tapi dengan konsekuensi intensitas produksi turun. Itu artinya semakin kecil pula pemasukan yang aku terima. Aku semakin bimbang dengan keputusanku. Rasa sakit di kepala kembali menyerangku. Aku merintih memegangi kepalaku. Aku tersungkur dan terjatuh ke lubang yang sangat dalam. Kegelapan menyelimutiku. Aku berteriak minta tolong, tapi suaraku tercekat ditenggorokan. Tak ada siapapun, aku menggigil ketakutan. Tiba-tiba tangan kecil terulur menarikku. Secercah cahaya nampak dimataku. Lamat-lamat kudengar suara kecil memanggil-manggil.
“Kamu…kamu kenapa?” kurasakan tangan kecil menarik-narik lenganku. Perlahan kubuka mata, agak kabur kulihat wajah cemas menatapku. Nyeri di kepalaku masih kurasakan meskipun mulai berkurang. Aku sadar bahwa aku belum sampai dirumah. Aku pingsan dibawah pohon pinggir jalan bersama bocah kecil yang baru saja kukenal. Segera aku bangkit berdiri membersihkan baju dan celanaku. Kupandangi wajah sang bocah yang masih bingung.
“Ayo ikut kerumahku. Kamu bisa makan disana, setelah itu kita cari kakakmu bersama-sama,” tawarku padanya. Tampak matanya berbinar-binar karena senangnya. Dia langsung berlari menuju mobilku yang kuparkir dipinggir jalan, aku beranjak mengikutinya. Langit semakin gelap tertutup mendung yang semakin pekat. Kujalankan mobilku dengan kecepatan sedang menembus kabut yang mulai turun.
Mobil memasuki halaman rumah. Kulihat istriku tersenyum menyambutku di teras rumah. Ada kebahagiaan terpancar dari raut wajahnya. Mungkin karena ini pertama kalinya aku membawa tamu kerumah bukan rekan bisnisku. Bocah kecil itu memandangku. “Inikah rumahmu?” tanyanya padaku. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. “Besar ya… seperti rumahku dulu sebelum terbakar” timpalnya kemudian. Aku terdiam penuh tanya dengan perkataan sang bocah barusan. Istriku menghampiri kami dan segera diajaknya bocah kecil itu masuk kedalam rumah. Aku berjalan tanpa kata mengikuti dibelakang.
Dari balik kaca ruang tamu yang basah berembun, kulihat genangan air dijalan raya depan rumah semakin meninggi. Langit tak henti-hentinya menumpahkan airmata, mungkin karena beban yang ditanggungnya semakin berat. Kunikmati segelas kopi buatan istriku. Kubuka buku catatanku. Tampak di ruang makan istriku sedang menemani sang bocah makan dengan lahap. Senyum terus  mengembang menghiasi bibirnya yang manis. Ternyata istriku tahu kalau aku memperhatikannya, dia berkedip penuh arti padaku. Aku tersenyum membalasnya.
Kami bertiga duduk didepan televisi. Kuperhatikan kembali bocah kecil yang duduk diantara aku dan istriku. Bocah kecil yang terpaksa harus menjalani kenyataan pahit di usianya yang masih belia. Meskipun begitu, tak nampak sedikitpun keinginannya untuk menyerah pada keadaan. Raut wajahnya yang selalu berseri-seri menunjukkan semangatnya yang terus berkobar.
Ditemukan mayat seorang bocah berusia 10 tahun dibawah jembatan jalan Mawar kompleks perumahan Harum Wangi. Diduga sebagai korban tabrak lari. Aku teringat cuplikan berita yang disiarkan salah satu stasiun televisi 3 hari lalu. Mungkinkah itu kakak dari bocah kecil ini??
Kuusap lembut kepala sang bocah, dia menoleh memandangku. “Kamu boleh tinggal disini dan kita akan mencari kakakmu bersama-sama” kataku padanya. Istriku tersenyum mengiyakan perkataanku. Bocah kecil itu memandang kami bergantian dan tersenyum. Senyum yang selalu penuh harapan. Senyum yang menyelamatkanku dari kegelapan. Senyum yang membawa kebahagiaan pada keluarga kami.
 “Demi Allah, bukanlah kefakiran atau kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian, akan tetapi justru aku kuatir ( kalau-kalau) kemewahan dunia yang kalian dapatkan sebagaimana yang telah diberikan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian bergelimang dalam kemewahan itu sehingga binasa, sebagaimana mereka bergelimang dan binasa pula ( HR. Bukhari ).”
Kututup buku catatanku dengan perasaan bahagia memenuhi relung kalbu. Kini telah kutemukan kebahagiaan yang sebenarnya. Kebahagiaan yang takkan ternilai dengan tumpukan lembar-lembar rupiah. Tiada henti kuucap syukur atas karunia-Nya. Terimakasih Tuhan telah mengirimkannya pada kami. Hujan deras diluar sana mulai reda. Air bah yang tertumpah berganti rintik-rintik gerimis yang mendamaikan hati. 

1 komentar:

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus